ANALISIS KANDUNGAN NITRAT DAN FOSFAT PADA SEDIMEN MANGROVE YANG TERMANFAATKAN DI KEC. MALLUSETASI KAB. BARRU
OLEH :
ANDI FAIZAL BAHRI
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertumbuhan penduduk yang tinggal di wilayah pesisir yang semakin meningkat dan tekanan pembangunan yang memanfaakan ekosistem pesisir dapat mengakibatkan perubahan ekosistem. Oleh karenanya, pemanfaatan tersebut seharusnya bersifat dapat diperbaharui (renewable resource). Wilayah pantai dan pesisir yang merupakan penyedia berbagai sumber daya alam belum dapat dikelola dengan baik. Untuk itu optimalisasi pemanfaatan sangatlah dibutuhkan. Salah satu sumberdaya yang dapat pulih dan sangat potensial untuk menunjang pemanfaatan tersebut adalah hutan mangrove.
Hutan mangrove merupakan vegetasi yang mampu tumbuh pada pantai yang terlindung. Vegetasi ini dapat tumbuh baik khususnya pada daerah estuaria tropik yang mencakup daerah yang besar. Hutan mangrove juga ditemukan pada laguna atau pada tempat-tempat dimana terjadi pertemuan antara air tawar dan air laut bahkan dapat menembus bagian hulu sepanjang tebing sungai.
Luas vertikal pohon serta tingginya kandungan nutrien yang ada pada hutan mangrove sehingga vegetasi mangrove membentuk suatu asosiasi yang unik antara organisme daratan dan organisme lautan. Interaksi ini dapat berupa interaksi ekologis dan ekonomis dengan hewan-hewan dan manusia.
Keberadaan mangrove menyebabkan kurangnya gerakan air sehingga memberikan pengaruh yang nyata terhadap pengendapan partikel-partikel sedimen yang halus dan cenderung berkumpul di dasar. Karena mangrove mempunyai sistem perakaran yang khas serta padat dapat menyebabkan partikel-partikel yang terlarut dalam air mengendap di sekeliling akarnya sehingga membentuk kumpulan lapisan sedimen. Sedimen yang ada di sekitar vegetasi mangrove inilah yang kemudian bercampur dengan serasah yang berguguran. Unsur hara berupa bahan organik akan terdeposit dalam sedimen dan akan terdistribusi oleh faktor lingkungan. Kondisi inilah yang menjadikan hutan mangrove sebagai penyumbang nutrien ke ekosistem lain yang ada di sekitarnya. Nitrat di perairan berasal dari pemecahan nitrogen organik dan anorganik dalam tanah yang berasal dari dekomposisi bahan organik dengan bantuan mikroba. Fosfat di perairan secara alami berasal dari pelapukan batuan dan juga dekomposisi bahan organik.
Berbagai macam keuntungan dapat diberikan oleh hutan mangrove bagi kehidupan manusia seperti sumber pangan, areal budidaya dan bahan bangunan, sehingga aktivitas pemanfaatan terhadap mangrove semakin meningkat pula. Berbagai pola pemanfaatan menyebabkan dampak yang tidak sedikit bagi keberadaan hutan mangrove, diantaranya aktivitas manusia terhadap hutan mangrove adalah pemukiman yang dapat menyumbangkan limbah rumah tangga ke areal mangrove. Begitupula dengan kawasan budidaya yang dapat menyebabkan kelebihan nutrien pada sedimen mangrove. Hal ini tentu saja akan memicu perubahan komposisi kimia yang ada pada hutan mangrove tersebut.
Unsur-unsur hara esensial merupakan hal yang mutlak dibutuhkan oleh suatu organisme seperti N dan P karena tidak dapat digantikan oleh unsur lain. Nitrat (NO3) dan fosfat (PO4) merupakan nutrien utama yang menentukan kestabilan pertumbuhan vegetasi seperti mangrove.
Kabupaten Barru adalah salah satu kabupaten di sulawesi selatan yang memiliki dan ditumbuhi hutan mangrove dengan luas sekitar 113,2 ha yang tersebar pada lima kecamatan. Kecamatan Mallusetasi adalah salah satu kecamatan dengan luasan vegetasi mangrove 3,57 ha. Berbagai pemanfaatan mangrove yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Barru berbasis kepentingan individu atau kelompok tertentu. Beberapa aktivitas diantaranya adalah konversi hutan mangrove menjadi pemukiman dan lahan budidaya seperti tambak, penebangan untuk bahan bangunan serta kayu bakar yang bila tidak terkelola dengan baik akan dapat menimbulkan kerusakan yang tidak terkendali terhadap ekosistem (Saru, 2005).
Mendasari hal tersebut, maka diperlukan adanya penelitian tentang dampak yang ditimbulkan oleh pemanfaatan hutan mangrove terhadap kandungan nitrat (NO3) dan fosfat (PO4) yang ada pada sedimen hutan mangrove.
Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi nitrat (NO3) dan fosfat (PO4) pada tiga jenis pemanfaatan hutan mangrove yaitu pertambakan, hatchery dan pemukiman.
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi tentang keberadaan nitrat dan fosfat pada hutan mangrove yang ada untuk menjadi bahan acuan dalam pengelolaan hutan mangrove selanjutnya pada lokasi tersebut.
Ruang Lingkup Penelitian
Parameter yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu parameter utama dan parameter pendukung.
Parameter utama terdiri dari nitrat (NO3) dan fosfat (PO4). Dan untuk data-data penunjang digunakan beberapa parameter yang terdiri dari salinitas, derajat keasaman (pH) air dan tanah, oksigen terlarut (DO), suhu, kandungan bahan organik (BO), suhu dan vegetasi hutan mangrove (kerapatan).
TINJAUAN PUSTAKA
Nitrat
Nitrat (NO3) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat nitrogen sangat mudah terlarut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat dengan bantuan mikroorganisme adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen (Effendi, 2003).
Distribusi horisontal kadar nitrat semakin tinggi menuju ke arah pantai dan kadar tertinggi biasanya ditemukan di perairan muara. Hal ini diakibatkan adanya sumber nitrat dari daratan berupa buangan limbah yang mengandung nitrat (Hutagalung dan Rozak, 1997).
Terdapat beberapa sumber nitrat di perairan. Diantaranya adalah atmosfer sebagai precursor nitrogen. Oksidasi biologis senyawa nitrogen organik juga dianggap sebagai sumber yang potensial penghasil nitrat serta reaksi fotolisis nitrit pada permukaan perairan meskipun hal ini dianggap bukan sumber utama dalam menghasilkan nitrat. Sumber potensial lain yang dapat memperkaya nitrat di perairan adalah hujan dan bahan-bahan buangan dari daratan, termasuk limbah (Savoie et.al, 1998). Lebih lanjut dijelaskan oleh Pillay (1992) bahwa jika terjadi kelebihan limbah yang dibuang ke perairan, terutama dari limbah pertanian dan budidaya perikanan akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi. Hal tersebut akan mengakibatkan penurunan kadar oksigen dalam perairan.
Nitrifiksasi merupakan proses yang terdiri dari dua reaksi yaitu oksidasi amonia menjadi nitrit dan selanjutnya oksidasi nitrit menjadi nitrat (Wada dan Hattori, 1991). Bahan organik yang terdekomposisi adalah sumber amonia yang merupakan awal pembentukan nitrat melalui pemecahan nitrogen organik dan anorganik yang terdapat dalam tanah dan air dengan bantuan mikroba dan jamur (Effendi, 2003). Adapun proses dekomposisi ditunjukkan dalam persamaan reaksi berikut :
N Organik + O2 NH3-N + O2 NO2-N + O2 NO3-N. (amonifikasi) (nitrifikasi)
Menurut Carpenter dan Capone (1983) bahwa pada ekosistem mangrove, fikasasi nitrogen ditemukan terjadi pada sedimen meskipun hanya beberapa sentimeter pada bagian atas lapisan sedimen. Menurut Potts (1984) bahwa fikasasi nitrogen pada sedimen dengan vegetasi mangrove diatasnya lebih tinggi daripada sedimen tanpa tumbuhan yang ada di atasnya, hal ini karena perbedaan kandungan detritus yang ada dalam tanah.
Fungsi nitrogen dalam tanah bagi tumbuhan adalah berperan dalam pembentukan protein, selain itu juga dapat memperbaiki pertumbuhan vegetatif. Tumbuhan dengan kandungan N yang cukup daunnya akan berwarna lebih hijau (Hardjowigeno, 1992).
Menurut Olsen dan Dean (1965 dalam Alkaf 2003) bahwa ada tiga kategori dalam menilai tinggi rendahnya kandungan nitrat dalam tanah, yaitu <> 10 ppm adalah kategori tinggi.
Fosfat
Menurut Jefferies and Miles (1996 dalam Effendi 2003), bahwa unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen, melainkan dalam bentuk senyawa organik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat. Fosfor membentuk kompleks dengan ion besi dan kalsium pada kondisi aerob, bersifat larut dan mengendap pada sedimen sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh algae akuatik.
Fosfor yang terdapat dalam air laut umumnya berasal dari dekomposisi organisme yang sudah mati. Fosfor merupakan salah satu senyawa nutrien yang penting karena akan diabsorbsi oleh fitoplankton dan masuk ke dalam rantai makanan (Hutagalung dan Rozak, 1997). Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat langsung dimanfaatkan oleh tumbuhan akuatik, sedang polifosfat harus direduksi dulu menjadi ortofosfat sebelum dimanfaatkan. Fosfor dalam bentuk fosfat merupakan mikronutrien yang diperlukan dalam jumlah kecil namun sangat esensial bagi organisme akuatik. Kekurangan fosfat juga dapat menghambat pertumbuhan fitoplankton (Zulfitria, 2003)
Sumber-sumber alami fosfor di perairan adalah pelapukan batuan mineral dan dekomposisi bahan organik. Sumber antropogenik fosfor adalah dari limbah industri dan limbah domestik, yakni yang berasal dari deterjen. Sumbangan dari daerah pertanian yang menggunakan pupuk juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi keberadaan fosfor (Effendi, 2003).
Pada sedimen, sumber utama fosfor adalah dari endapan terestrial yang mengalami erosi dan pupuk pertanian yang dibawa oleh aliran sungai. Fraksi lain dari fosfat yang terlarut yang sebagian berbentuk koloid berasal dari ekskresi organisme dan juga terbentuk dari hasil autolisis organisme yang mati (Horax, 1998 dalam Saleh 2003). Keberadaan berbagai bentuk fosfat di laut dikendalikan oleh proses biologi dan fisika, diantaranya penyerapan oleh fitoplankton pada proses fotosintesis, penggunaan oleh bakteri serta adanya absorpsi oleh lumpur dasar akibat kelebihan Ca2+ pada pH tinggi.
Mineral ini tersebar luas dalam sedimen laut. Pada sedimen, mineral ini terserap oleh sedimen yang terhidrolisis, khususnya lempung. Peningkatan ortofosfat sebanding dengan peningkatan konsentrasi sedimen. Material-material yang tersuspensi juga dapat membawa fosfat yang terabsorbsi didalamnya ( Stednik, 1991).
Keberadaan fosfor secara berlebihan yang disertai keberadaan nitrat dapat menstimulir ledakan pertumbuhan alga di perairan yang dapat menggunakan oksigen dalam jumlah besar sehingga berdampak pada penurunan kadar oksigen terlarut. Berdasarkan kadar fosfor total, perairan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu : perairan dengan tingkat kesuburan rendah kadar fosfor total berkisar antaa 0 – 0.02 mg/liter; perairan dengan tingkat kesuburan sedang yang memiliki kadar fosfor total berkisar antara 0.021 – 0.05 mg/l; dan perairan dengan tingkat kesuburan tinggi yang memiliki kadar fosfat total 0.051 – 0.1 mg/l (Yoshimura dan Liaw, 1969 dalam Effendi, 2003).
Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur (Bengen, 2004).
Menurut Nontji (2002), mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai datar. Biasanya di tempat yang tak ada muara sungainya hutan mangrove terdapat agak tipis. Pada sungai-sungai yang memiliki muara sungai yang besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur dan pasir mangrove biasanya tumbuh meluas. Selanjutnya dinyatakan bahwa mangrove yang ada di Indonesia terkenal mempunyai keragaman jenis yang tinggi. Seluruhnya tercatat sebanyak 89 jenis tumbuhan. Beberapa jenis diantaranya adalah bakau (Rhizopora), api-api (Avicenia), pedada (Sonneratia), tanjang (Brugueira), nyirih (Xylocarpus), tengar (Ceriops) dan buta-buta (Excoecaria).
Nybakken (1992) menyatakan bahwa asosiasi mangrove tersebar luas di seluruh lautan tropik dan subtropik. Mangrove mampu tumbuh hanya pada pantai yang terlindung dari gerakan gelombang. Pantai-pantai ini tepat di sepanjang sisi-sisi pulau yang terlindung dari angin, atau serangkaian pulau atau pada pulau atau massa daratan di belakang terumbu karang di lepas pantai yang terlindung. Mangrove berkembang baik khususnya dalam estuaria tropik dan mencakup daerah yang terbesar.
Peranan Hutan Mangrove
Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning ground), dan daerah pembesaran (nursery ground) berbagai jenis ikan, udang, kerang-kerangan dan spesies lainnya. Dengan sistem perakaran dan tegakan yang rapat serta kokoh, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gelombang, tsunami, angin topan, perembesan air laut, dan gaya-gaya kelautan yang lainnya. Sedangkan secara ekonomi, hutan mangrove dapat dimanfaatklan kayunya secara lestari untuk bahan bangunan, arang, dan bahan baku kertas. Selain itu juga dapat dimanfaatkan untuk industri peternakan lebah madu, ekotourisme, dan kegiatan ekonomi lainnya (Bengen, 2004).
Selain itu serasah mangrove berupa (daun, ranting dan biomassa lainnya) yang jatuh di perairan menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktivitas perikanan laut di depannya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa daun yang gugur ke dalam air segera menjadi bahan makanan bagi berbagai jenis hewan air. Atau dihancurkan lebih dulu oleh kegiatan bakteri dan fungi. Hancuran dari bahan-bahan organik kemudian akan menjadi bahan makanan penting bagi hewan-hewan lainnya Nontji (2002).
Vegetasi Hutan Mangrove
Menurut Nontji (2002), bahwa vegetasi mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi sekitar 202 jenis, yang terdiri dari 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. Namun demikian hanya terdapat 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Paling tidak terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati penting/dominan dalam satu hutan mangrove yang dibagi kedalam empat famili. Keempat famili tersebut adalah Rhizoporaceae (Rhizopora, Brugueira dan Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicvenniaceae (Avicennia), dan Meliaceae (Xylocarpus).
Sumbangan terpenting mangrove terhadap perairan pantai adalah lewat daunnya yang gugur ke dalam air (Nontji, 2002). Lebih lanjut dijelaskan oleh Hutabarat dan Evans (1986) bahwa tumbuhan yang pertama membentuk daratan lumpur adalah dari jenis yang tahan terhadap salinitas yang tinggi dan tahan terendam air.
Susunan jenis dan kerapatan tegakan pada wilayah mangrove sangat dipengaruhi oleh susunan kondisi tanah. Pada umumnya tanah yang terdiri atas liat dan debu terdapat tegakan yang lebih rapat dibandingkan pada lahan yang konsentrasi liat dan debunya rendah (Wiaroatmodjo, 1994 dalam Alkaf, 2003).
Bahar dan Arifin (2001), menyatakan bahwa teridentifikasi sembilan spesies dari lima genera vegetasi mangrove yang didapatkan di Kabupaten Barru, yaitu tiga spesies dari genera Brugueira, tiga spesies dari genera Rhizopora, dan masing-masing satu spesies dari genera Sonneratia, Avicennia dan Acrosticum.
Faktor-Faktor Ekologis Pertumbuhan Mangrove
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan betapa pentingnya keberadaannya. Berikut ini beberapa faktor ekologis yang mempengaruhi pertumbuhan mangrove :
Kandungan Bahan Organik
Menurut Por (1984) bahwa ekosistem mangrove merupakan ekosistem dengan produktivitas tinggi (penghasil detritus) yang memegang peranan penting dalam siklus energi. Hal ini terjadi karena banyaknya serasah daun yang gugur. Ketika partikel detritus telah diuraikan menjadi bagian yang lebih kecil, partikel tersebut akan tersuspensi dalam perairan dan akan dikonsumsi oleh filtrator dan juga zooplankton. Kebanyakan massa detritus akan tertahan oleh akar mangrove dan terdekomposisi pada tempat itu sehingga mendorong akumulasi bahan organik pada lantai hutan mangrove.
Sisa-sisa organisme yang mati dan mengalami dokomposisi akan sangat mempengaruhi kondisi tanah. Hasil dekomposisi inilah yang kemudian berubah menjadi bahan organik dan dapat menyebabkan warna tanah menjadi lebih gelap dan lebih stabil (Hardjowigeno, 1992)
Bahan organik yang ada di perairan dapat berasal dari tumbuhan atau biota akuatik, baik yang hidup maupun yang mati menjadi detritus atau berasal dari limbah industri dan domestik. Bahan organik yang terdekomposisi adalah sumber amonia yang merupakan awal pembentukan nitrat melalui pemecahan nitrogen organik dan anorganik yang terdapat dalam tanah dan air dengan bantuan mikroba dan jamur. Fosfor dalam perairan alami juga berasal dari dekomosisi bahan organik (Effendi, 2003).
Bahan Organik di perairan terdapat sebagai partikel tersuspensi, bahan organik yang megalami perubahan dan bahan organik yang berasal dari daratan dan terbawa oleh aliran sungai. Adapun perairan yang banyak mendapat masukan dalam hal ini adalah estuaria karena adanya percampuran air tawar dan air laut (Bengen, 2000)
Menurut Wahyu dan Widyastuti (1998 dalam Alkaf 2003), kondisi tanah dengan kandungan bahan organik 1-5 % adalah sesuai untuk upaya konservasi pantai (mendukung pertumbuhan mangrove) sedangkan pada kondisi di bawah 1 % atau lebih besar dari 5 %, maka lahan tersebut kurang sesuai untuk konservasi pantai.
Oksigen Terlarut
Oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan. Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi, dan tekanan atmosfir (Jefferies dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2003). Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian dan musiman, tergantung pada percampuran, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah yang masuk ke air (Effendi 2003).
Sumber utama oksigen di laut adalah dari udara melalui proses difusi dan dari hasil fotosintesis fitoplankton pada siang hari. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kadar oksigen dalam air laut adalah kenaikan suhu air, respirasi, adanya lapisan minyak di atas permukaan laut dan masuknya limbah organik yang mudah urai ke lingkungan laut. Di antara faktor-faktor tersebut, yang paling sering menurunkan kadar oksigen dalam air laut adalah masuknya limbah organik yang mudah urai (Hutagalung dan Rozak, 1997). Lebih lanjut ditekankan oleh Effendi (2003) bahwa pada perairan tergenang yang dangkal dan banyak ditumbuhi tanaman air pada zona litoral, keberadaan oksigen lebih banyak dihasilkan oleh aktivitas fotosintesis tumbuhan air.
Konsentrasi Oksigen yang terlalu rendah akan mengakibatkan biota laut yang membutuhkan oksigen akan mati. Sebaliknya konsentrasi oksigen yang terlalu tinggi akan menyebabkan pengkaratan semakin cepat karena akan terjadi pengikatan hydrogen yang lebih banyak (Alkaf, 2003). Namun bagi manusia dan biota laut, kadar oksigen yang tinggi tidak menimbulkan pengaruh fisiologis (Effendi, 2003)
Derajat Keasaman
Derajat keasaaman tanah dinyatakan dengan nilai pH. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi ion H+ di dalam tanah. Pada tanah yang masam, jumlah ion H+ lebih tinggi daripada ion OH- sedang pada tanah yang alkalis, kandungan OH- lebih tinggi daripada ion H+. Sedang bila kandungan ion OH- dan H+ sama maka disebut sebagai pH netral (Hardjowigeno, 1992).
Henriksen dan Kemp (1988) menjelaskan tentang pentingnya pH tanah yaitu penentu mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap tanaman, menunjukan kemungkinan adanya unsur-unsur hara beracun serta mempengaruhi perkembagan mikroorganisme. Bakteri dapat berkembang dengan baik pada pH 5.5 atau lebih, sedangkan pada pH kurang dari 5.5 perkembangannya terhambat. pH optimum untuk berjalannya proses nitrifikasi berkisar pada range netral sampai sedikit alkalis (7-8,5).
pH perairan adalah salah satu faktor penentu pada kebanyakan proses alami, merupakan sebuah komponen kritis dalam sebuah sistem biologis dan memegang peranan penting dalam pengukuran kualitas air lainnya (Stednik, J.D, 1991)
Menurut Widyastutui (1999 dalam Sultan 2001), pH untuk perairan alami berkisar antara 4 - 9. Penyimpangan yang cukup besar dari pH semestinya dapat dipakai sebahai petunjuk akan adanya buangan limbah yang bersifat asam/basa, yaitu sekitar 5 - 8 untuk air, dan 6 - 8.5 untuk tanah. Kondisi di perairan mangrove biasanya bersifat asam karena banyaknya bahan organik di kawasan itu.
Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti aktivitas biologis misalnya fotosintesis dan respirasi organisme, suhu, serta mineral dalam perairan. Perairan dengan pH 5.5 - 6.5 dan >8,5 termasuk perairan kurang produktif, perairan dengan pH 6.5 – 7.5 termasuk perairan yang produktif dan perairan dengan pH 7.5 – 8.5 adalah perairan yang produktivitasnya sangat tinggi (Kaswadji 1971 dalam Saleh, 2002).
Suhu Perairan
Suhu adalah salah satu faktor yang amat penting bagi kehidupan organsime, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme tersebut (Hutabarat dan Evans, 1986).
Menurut Effendi (2003), suhu sangat dipengaruhi oleh banyak hal seperti lintang, musim, ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman air. Suhu sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Peningkatan suhu akan meningkatkan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatiliasi atau menurunkan kelarutan gas dalam air seperti misalnya gas N2.
Suhu permukaan air laut umumnya 270 – 290 C. Pada perairan dangkal dapat mencapai 340 C. Di dalam hutan bakau sendiri suhunya lebih rendah dan variasinya hampir sama dengan daerah-daerah pesisir lain yang ternaungi (Jasanul 1984 dalam Sultan 2001).
Suhu air merupakan salah satu peubah fisika yang memegang peranan penting di dalam kehidupan dan pertumbuhan biota perairan. Suhu berpengaruh langsung pada organisme perairan terutama di dalam proses fotosintesis tumbuhan akuatik, metabolisme dan siklus reproduksi. Menurut Jenie dan Rahayu (2001) bahwa nitrifikasi dapat berlangsung dengan baik pada kondisi suhu 30 – 36 °C karena mikrobanya tergolong pada mikroba mesofilik. Namun, menurut Henriksen dan Kemp (1988) bahwa kisaran suhu optimum untuk berjalannya nitrifikasi bisa lebih luas yaitu 25 – 35 °C.
Salinitas
Konsentrasi rata-rata seluruh garam yang ada dalam air laut dikenal dengan istilah salinitas (Hutabarat dan Evans, 1986). Ciri paling khas pada air laut yang diketahui oleh semua orang ialah rasanya yang asin. Ini disebabkan oleh terlarutnya bermacam-macam garam, yang paling utama adalah narium klorida (NaCl). Di perairan Indonesia biasanya salinitas berkisar antara 34-35 0/00. Salinitas di daerah estuaria dapat menjadi kompleks karena selain merupakan pertemuan air tawar dan air laut, juga karena pengadukan air sangat menentukan. Adapun sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai (Nontji, 2002).
Zat-zat garam tersebut berasal dari dalam dasar laut melalui proses outgassing yaitu rembesan dari kulit bumi di dasar laut yang berbentuk gas ke permukaan dasar laut. Bersama gas-gas ini terlarut pula kikisan kerak bumi bersama-sama garam-garam ini meremebes pula air dimana semua dalam perbandingan yang tetap sehingga terbentuk garam di laut (Romimohtato dan Juwana, 2001).
Menurut Bengen (2002), mangrove dapat tumbuh pada salinitas tertentu dengan kisaan 2-22 0/00. Perbedaan salinitas ini menyebabkan terjadinya zonasi dari salinitas tinggi sampai salinitas rendah. Dari salinitas tinggi sampai salinitas rendah terbentuk zonasi yang umum ditemukan yaitu Avicennia sp, Sonneratia sp, Rhizopora sp, Brugueira sp dan Nypa sp. Pembentukan zonasi bukan hanya tergantung pada salinitas sehingga zonasi ini tidak teratur sesuai besaran salinitas saja.
Sedimen
Karena akar-akar mangrove yang kokoh dapat meredam pengaruh gelombang, maka akar-akar ini akan menahan lumpur dan endapan sehingga lahan mangrove bisa menjadi semakin luas dan tumbuh ke luar ke arah laut serta mempercepat terbentuknya tanah tumbuh (Nontji, 2002).
Adanya pertumbuhan bakau di daerah pantai akan memberikan peranan dalam menahan sedimen yang berupa tanah liat dan akan terakumulasi di bawah tegakan. Terdapat adanya hubungan antara sedimentasi yang terjadi dengan kandungan bahan organik. Ukuran partikel sedimen yang halus akan mengandung bahan organik yang lebih tinggi daripada sedimen yang lebih kasar (Wood, 1987). Hal ini dijelaskan pula oleh Capone (1988) bahwa pada sedimen perairan dangkal, bahan organik dan amoniak lebih banyak ditemukan pada ukuran partikel sedimen yang halus dibandingkan dengan partikel sedimen yang berukuran lebih kasar. Dan hal ini membuktikan bahwa semakin besar ukuran partikel sedimen maka semakin kecil fiksasi N2 yang terjadi. Namun khusus untuk fosfor, hal sebaliknya berbeda dengan pernyataan sebelumnya, Horax (1998, dalam Saleh 2003) menyatakan bahwa sedimen CaCO3 berupa pasir akan mempengaruhi keberadaan fosfor. Hal ini disebabkan oleh sedimen ini dapat menarik ion-ion ortofosfat yang merupakan salah satu bentuk fosfat anorganik terlarut.
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Nopomber 2006, yang meliputi studi literatur, persiapan penelitian, pengambilan data dan sampel, analisa sampel dan pengolahan data serta penyusunan laporan akhir.
Pengambilan sampel dilakukan di Kecamatan Mallusetasi Kabupaten Barru, analisa sampel dilakukan di Laboratorium Ekotoksikologi Laut dan Kimia Oseanografi Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan dan Laboratorium Kimia Fisika Tanah Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan sebagai berikut :
Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian
No. | Nama Alat / bahan | Kegunaan |
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 | Alat : GPS (Global Positioning System) Handrefraktometer/salinometer Termometer pH meter Botol gelap DO meter Timbangan elektrik Alat tanur Gelas ukur Cawan petri Tabung reaksi Cool box Alat Pengocok Skop Kamera Bahan : Kantong sampel Kertas saring Alat tulis-menulis Sampel sedimen Aquades | Menentukan posisi stasiun pengamatan Mengukur salinitas perairan Mengukur suhu perairan Mengukur derajat keasaman wadah sampel air Mengukur DO perairan Mengukur berat sampel Memanasi sampel sedimen Untuk mengukur larutan Wadah sampel untuk penimbangan Wadah sampel cair Tempat penyimpanan sampel Untuk mengocok sampel Mengambil sampel sedimen Dokumentasi Menyimpan sampel Menyaring sampel Mencatat hasil pengamatan dan pengukuran Melihat kandungan nitrat dan fosfat Pengencer larutan |
Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini dibagi dalam beberapa tahap sebagai berikut :
1. Persiapan
Tahap ini meliputi pengumpulan informasi mengenai kondisi umum lokasi penelitian, studi literatur dan penentuan metode penelitian yang akan dilakukan.
2. Penentuan Stasiun Pengambilan Sampel
Stasiun pengamatan terdiri dari 3 stasiun dengan masing-masing 3 substasiun untuk tiap stasiunnya. Stasiun ditempatkan berdasarkan pemanfaatan hutan mangrove yakni stasiun I untuk tambak, stasiun II untuk hatchery, dan stasiun III untuk pemukiman. Penempatan substasiun berdasarkan jarak, dimana jarak antar substasiun adalah masing-masing 10 m.
3. Pengumpulan Data
Parameter yang diukur dan metode analisis yang digunakan dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Parameter yang diukur.
NO | Parameter Yang Diukur | Metode/alat yang digunakan |
1 | Nitrat (NO3) (ppm) | Metode Brucine |
2 | Fosfat (PO4) (ppm) | Metode Asam Askorbik |
3 | Bahan Organik Total (BOT) (ppm) | Metode gravimetrik (tanur) |
4 | pH air | pH meter (in-situ) |
5 | Suhu (0) | Termometer (in-situ) |
6 | DO (ppm) | DO meter |
7 | Salinitas (ppt) | Refractometer |
8 | Kerapatan pohon | Analisis rumus |
Pengukuran Nitrat (NO3)
Pengukuran data nitrat (NO3) dilakukan dengan menggunakan metode Brucine (Balai Penelitian Tanah, 2005) yaitu :
Pereaksi :
1. Brucin 2 % dalam amilum asetat dengan pH 4,8
2. H2SO4 (p)
3. Amilum asetat
4. Pengekstrak Morgan-Wolf
Prosedur Kerja :
5 gr sampel ditambahkan 50 ml amilum asetat dengan pH 4.8. Kocok selama 30 menit kemudian disaring. 5 ml hasil ekstraksi dipipet ke dalam tabung reaksii dan ditambahkan dengan 0.5 ml brucin dan kemudian ditambahkan dengan 5 ml H2SO4 (p). Dikocok dengan pengocok tabung sampai homogen dan dibiarkan selama 30 menit. Dimasukkan kedalam spektrofotometer dengan panjang gelombang 432 nm. Kemudian diamati.
Pengukuran Fosfat (PO4)
Pengukuran fosfat (PO4) dilakukan dengan metode asam askorbik menurut APHA (1989), yaitu :
Pereaksi :
Perekasi Olsen, Larutan Standar 10 ppm, pereaksi fosfat pekat, pereaksi campuran fosfat, asam ascorbic, amonium molybdat, stok SnCl2, karbon aktif.
Prosedur Kerja :
5 gr sampel sedimen dimasukkan ke dalam botol polyethylene ditambahkan 2 gr karbon aktif. Larutkan dengan 2 ml pengekstrak olsen dan dikocok selama 30 menit lalu disaring ke dalam tabung reaksi. 5 ml larutan jernih dari tabung reaksi dipipet dan ditambah 5 ml pereaksi fosfat. Membuat larutan standar dengan kepekatan 0 – 10 ppm P2O5 dengan cara memipet : 1,0 ; 2,0 ; 4,0 ; 8,0 ; 10,0 ml larutan standar P2O5 10 ppm kemudian diencerkan dengan pengekstrak olsen menjadi 2 ml. Sampel dan larutan standar masing-masing ditambahkan 5 ml pereaksi fosfat, kemudian dikocok dan dibiarkan selama 30 menit. Sampel kemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 693 nm.
Perhitungan :
PO4 (ppm) =
Pengukuran Bahan Organik Total (BOT)
Analisis tanah untuk mengetahui kandungan bahan organik tanah dilakukan dengan metode gravimetrik menurut Walekly dan Black (dalam Alkaf 2002):
– Cawan tempat sampel dipanaskan dalam eksikator pada suhu 50 0 C
– Cawan kemudian ditimbang untuk mengetahui berat kosong cawan
– Sampel sedimen sebanyak 5-10 gr dimasukkan kedalam cawan, kemudian diukur beratnya untuk mengetahui berat awal (Wa)
– Sampel selanjutnya ditanur pada suhu 5500 C selama 3 jam. Untuk menghitung berat akhir sampel sedimen (Wt) sampel sedimen tersebut ditimbang kembali.
– Persentase kandungan bahan organik total sampel dihitung dengan formula :
Ket : % BOT = Persentase Bahan Organik Total
BCk = Berat cawan kosong
BS = Berat sampel
BSP` = Berat sampel setelah pemijara
Pengukuran Vegetasi Mangrove
Untuk menghitung kerapatan tegakan pohon dilakukan dengan rumus :
Dimana :
D = Kerapatan tegakan pohon (ind/m2)
ni = Jumlah tegakan pohon (individu)
A = Luas total plot (m2)
Sedangkan untuk mengukur diameter batang dilakukan dengan rumus :
Dimana :
DBH = Diameter batang
CBH = Keliling batang
Ï€ = 3,14 (konstanta)
Pengukuran Parameter Pendukung
Pengukuran parameter pendukung seperti pH, suhu, salinitas dan DO, penentuannya dilakukan langsung pada saat pengambilan sampel (in situ).
Analisis Data
Data yang diperoleh di lapangan serta hasil analisis di laboratorium akan ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik. Data yang diperoleh dianalisis dan dibahas secara deskriptif untuk mendapatkan kesimpulan dari hasil penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten barru adalah daerah yang secara administratif termasuk pada wilayah Provinsi Sulawesi Selatan dengan posisi geografis terletak antara 119° 35’ 00° - 119 49° 16” Bujur Timur dan 4° 11’ 49” - 4° 47’ 35” Lintang Selatan. Wilayah ini memiliki garis pantai yang panjang dimana pada bagian pesisirnya ditumbuhi oleh hutan mangrove dengan luas 113,2 hektar. Hutan mangrove ini tersebar pada lima kecamatan dan salah satunya berada pada Kecamatan Mallusetasi. Hutan mangrove pada kecamatan ini tumbuh seluas 3,57 ha atau sekitar 11,37 % dari luas total hutan mangrove yang ada di Kabupaten Barru.
Penelitian ini dilaksanakan di tiga tempat pada Kecamatan Mallusetasi yakni Desa Batu Pute yang mewakili pemanfaatan lahan mangrove sebagai areal tambak, Desa Cilellang sebagai perwakilan area hatchery dan Desa Bojo yang mewakili areal pemukiman. Mata pencaharian masyarakat lokal sangat terkait dengan keberadaan hutan mangrove pada wilayah itu dengan pencaharian seperti nelayan, petani tambak dan pedagang. Dengan keberadaan mangove pada wilayah pesisir kecamatan ini, maka pemanfaatan fungsi hutan mangrove telah dilakukan oleh masayarakat lokal. Pemanfaatan yang dimaksud berupa konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak, usaha hatchery serta pemukiman penduduk.
Besarnya aktivitas pemanfaatan oleh masayarakat lokal tidak diiringi dengan pelestaraian berupa penanaman kembali bibit mangrove sehingga luasan yang ada menjadi berkurang.
Kualitas Perairan dan Kondisi Tanah Pada Lokasi Penelitian
Hasil pengukuran data kualitas air di lapangan disajikan pada tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Data hasil pengukuran kualitas air dan kondisi tanah.
Stasiun | Sub stasiun | Kualitas air | Kondisi tanah |
pH air | Salinitas (ppt) | Suhu (◦C) | Oksigen terlarut (ppm) | pH tanah | BOT (%) |
I | 1 | 7,54 | 29 | 32 | 2,4 | 6,68 | 48,751 |
2 | 7,5 | 28 | 31 | 4,5 | 6,76 | 15,394 |
3 | 7,98 | 31 | 31 | 5,5 | 7,45 | 11,096 |
II | 1 | 7,95 | 24 | 30 | 9,8 | 6,38 | 6,677 |
2 | 7,7 | 26 | 29 | 9,2 | 6,55 | 6,257 |
3 | 7,8 | 28 | 27 | 9,7 | 6,97 | 9,676 |
III | 1 | 7,33 | 29 | 30 | 1,8 | 6,57 | 70,266 |
2 | 7,83 | 29 | 33 | 1,5 | 6,84 | 56,706 |
3 | 8,09 | 30 | 32 | 2,9 | 7,65 | 63,754 |
Derajat Keasaman
Hasil pengukuran diperoleh bahwa kisaran pH air dari semua stasiun relatif bersifat netral karena nilainya mendekati angka 7 (pH netral) kecuali pada substasiun III.3 yag sedikit alkalis. Jika dirata-ratakan maka nilai pH rata-rata yang diperoleh dari semua stasiun mulai dari stasiun I sampai III maka nilainya secara berturut-turut adalah 7,54, 7,82 dan 7,75. Untuk mengkategorikan perairan pada lokasi penelitian dalam tingkat kesuburan berdasarkan nilai pH maka stasiun I subtasiun 1 dan Stasiun I substasiun 2 termasuk ke dalam perairan yang produktif sedangkan untuk substasiun lainnya adalah termasuk dalam perairan dengan produktivitas tinggi. Hal ini sependapat dengan Kaswadji (1971, dalam Saleh, 2002) yang menyatakan bahwa pH dengan nilai 5,5 – 6,5 dan >8,5 termasuk perairan yang kurang produktif, perairan dengan pH 6,5 – 7,5 termasuk dalam perairan yang produktif serta pH 7,5 – 8, 5 termasuk perairan dengan produktivitas yang tinggi.
Nilai pH tanah yang telah diukur diperoleh kisaran antara 6,38 – 7,65. Kisaran pH ini masih bersifat netral karena semua nilainya mendekati nilai 7. Nilai ini menunjukkan bahwa pada semua lokasi penelitian masih mendukung berlangsungnya proses nitrifikasi dan penyerapan unsur-unsur hara oleh tanah. Hardjowigeno (1997) menyatakan bahwa pH adalah penentu mudah tidaknya unsur hara diserap oleh tanah serta mempengaruhi perkembangan mikroorganisme. Pada pH <5,5 style=""> pH >5,5.
Nilai pH yang netral seperti yang ditemukan pada semua substasiun pengamatan masih memungkinkan mudahnya tanah menyerap unsur-unsur hara. Karena jika pH netral maka unsur-unsur hara akan mudah larut dalam air. Dari hasil pengukuran, pH tertinggi diperoleh pada stasiun III substasiun 3 dengan nilai 7,65. pH terendah diperoleh pada stasiun II substasiun 1 dengan nilai 6.38.
Pengukuran nilai pH air dan tanah menunjukkan bahwa nilainya masih bersifat netral dan memungkinkan terjadinya proses nitrifikasi, karena nitrifikasi akan optimum pada pH 8 – 9 namun pada pH <6>
Salinitas
Berdasarkan hasil pengukuran salinitas pada semua substasiun pengamatan maka diperoleh kisaran salinitas antara 26 – 31 ppt. Nilai salinitas tertinggi diperoleh pada stasiun I substasiun 3 dengan nilai 31 ppt. Tingginya salinitas pada stasiun ini dikarenakan tidak adanya pengaruh air tawar yang masuk ke perairan. Tidak sama halnya dengan stasiun II dan III yang memiliki sumber input air tawar. Nilai salinitas terendah didapatkan pada stasiun II substasiun 1 yaitu 24 ppt. Pada bagian selatan stasiun ini terdapat aliran kali yang bermuara ke perairan. Rendahnya salinitas pada stasiun ini diduga karena adanya pengaruh air tawar yang bersumber dari aliran kali ini. Hal ini sesuai dengan pendapat Dahuri et.al (2001) bahwa pada daerah yang terdapat aliran sungai akan terjadi percampuran dua atau lebih massa air yang berbeda sifatnya. Hal inilah yang kemudian menyebabkan penurunan slinitas air laut sebagai efek masuknya air tawar ke perairan. Pada stasiun III, juga terdapat sumber input air tawar dari pemukiman yaitu melalui saluran limbah penduduk yang juga bermuara ke laut. Meskipun kecil, hal ini juga dapat memberikan pengaruh bagi kondisi salinitas perairan.
Bila diperhatikan dari parameter salinitas, maka kisaran salinitas antara 26 – 31 ppt maka dapat dikatakan bahwa kisaran salinitas ini memang masih mendukung pertumbuhan mangrove pada lokasi tersebut. Karena mangrove secara umum dapat tumbuh pada daerah yang bersalinitas 2 – 38 ppt. Bengen (2004) menyatakan bahwa habitat mangrove dapat ditemui pada derah bersalinitas payau (2 – 22 ppt) sampai pada perairan asin yang bersalinitas 38 ppt.
Suhu
Suhu perairan pada dasarnya memiliki peran terhadap keberadaan hutan mangrove. Dari hasil pengukuran diperoleh bahwa suhu pada semua stasiun pengamatan berkisar antara 27 – 33 °C. Suhu tertinggi ditemukan pada stasiun III substasiun 2 dengan nilai 33 °C. Sedangkan suhu terendah diperoleh pada stasiun II substasiun 3 yaitu 27 °C. Dari hasil ini dapat dilihat bahwa kisaran suhu antara 27 – 33 °C adalah mendukung untuk syarat tumbuhnya mangrove pada habitat tersebut. Kisaran suhu tersebut dapat menunjang berjalannya proses nitrifikasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Effendi (2003) bahwa bakteri nitrifikasi dapat melakukan nitrifikasi pada suhu 20 0C – 30 0C. Pada suhu kurang atau lebih dari kisaran tersebut maka kecepatan nitrifikasi akan berkurang.
Oksigen Terlarut
Hasil pengukuran oksigen terlarut menunjukkan kisaran nilai yang agak berbeda besarnya yaitu antara 1,5 ppm – 9,8 ppm. Hasil ini beragam mulai dari stasiun satu sampai stasiun tiga. Jika dirata-ratakan maka nilai oksigen terlarut untuk semua stasiun adalah 4,1 ppm untuk stasiun I, 9,6 ppm untuk stasiun II dan 2,1 untuk stasiun III.
Nilai oksigen terlarut terendah diperoleh pada stasiun III substasiun II dengan nilai 1,5 ppm. Pada stasiun ini nilai DO-nya rendah karena padatnya tegakan mangrove serta banyaknya serasah yang jatuh ke lantai hutan (sedimen). Hal ini kemudian mengakibatkan banyaknya bahan organik yang terkandung dalam sedimen. Sebagaimana diketahui bahwa dengan tingginya bahan organik yang ada maka oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba untuk mendegradasi bahan organik tersebut juga akan bertambah. Bahan organik pada stasiun ini paling tinggi yaitu sebesar 70,266 %. Hal ini dapat dilihat dari kerapatan mangrove yang tumbuh pada stasiun ini lebih tinggi dari dua stasiun lainnya yaitu 6,6 ind/10m2. Selain itu karena lebih padatnya tegakan mangrove yang ada di lokasi ini sehingga sirkulasi air laut akan lebih kecil dari stasiun yang memiliki kepadatan rendah.
Oksigen terlarut tertinggi diperoleh pada stasiun II substasiun yaitu sebesar 9,8 ppm. Dari nilai ini dapat dihubungkan dengan vegetasi mangrove yang tumbuh, dimana kerapatanya lebih rendah dari stasiun yang lainnya yaitu hanya 1,6 ind/10m2. Dari sini juga dapat dihubungkan dengan bahan organik yang ada pada stasiun ini lebih sedikit yakni 6,677 %. Berarti oksigen yang dibutuhkan untuk mendegradasi bahan organik yang ada juga tidak terlalu besar seperti halnya pada stasiun yang bahan organiknya tinggi. Selain itu sirkulasi air yang masuk juga sangat baik karena vegetasi yang tumbuh juga jarang sehingga pergantian air akan berjalan lancar.
Secara umum nilai kandungan oksigen yang diperoleh dapat menunjang berjalannya proses nitrifikasi karena nilainya >2 ppm, kecuali pada stasiun III substasiun 1 dan 2 yang nilainya <2>2 ppm, dan jika DO <2>
Kandungan Bahan Organik Pada Sedimen
Guguran serasah ke lantai hutan merupakan petunjuk pentingnya hutan mangrove sebagai sumber bahan organik. Dalam penelitiannya di hutan mangrove Muara Angke-Kapuk jakarta, Sukardjo (1994) menemukan bahwa konsentrasi rata-rata unsur kimia pada total gugur serasah diantaranya adalah 0,04 % fosfat dan 3,02 % nitrogen. Hal ini menunjukkan besarnya peranan bahan organik sebagai sumber penyedia unsur-unsur hara pada lantai hutan mangrove.
Bahan organik umumnya ditemukan di permukaan tanah dengan jumlah yang tidak terlalu besar hanya sekitar 3 – 5 % tetapi berpengaruh besar terhadap sifat-sifat tanah, seperti sumber unsur hara N, P, S dan unsur mikro lain, sebagai granulator dan menambah kemampuan tanah untuk menahan air dan unsur hara (Hardjowigeno, 1992).
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kisaran kandungan bahan organik pada sedimen sampel dari semua substasiun adalah antara 6,257 % sampai dengan 70,266 %. Dari hasil ini dapat dilihat begitu jauh perbedaan antara stasiun yang bahan organiknya rendah dengan stasiun yang bahan organiknya tinggi. Ini terjadi karena adanya perbedaan jumlah tegakan mangrove antarsubstasiun. Hal ini memberikan gambaran pula bahwa tinggi rendahnya kandungan bahan organik ini dipengaruhi secara langsung oleh perbedaan volume serasah daun mangrove yang kemudian jatuh ke sedimen dan akhirnya terdekomposisi hingga menjadi bahan organik. Hal ini sesuai dengan pendapat Sukardjo (1994) bahwa hutan mangrove merupakan penyumbang unsur hara bagi organisme yang hidup di dalam dan sekitarnya dimana besarnya biomasssa serasah lantai hutan merupakan petunjuk pentingnya hutan mangrove sebagai sumber bahan organik.
Nilai bahan organik tertinggi ditemukan pada stasiun III substasiun 1 dengan nilai 70,266 %. Nilai ini adalah nilai yang tergolong tinggi dan jauh perbedaannya bila dibandingkan dengan stasiun yang lain. Tingginya kandungan bahan organik pada substasiun ini dikarenakan lebih tingginya kerapatan mangrove yang tumbuh yaitu 6,6 ind/10m2 dibanding dengan substasiun lainnya. Selain itu pH tanah pada substasiun ini yang nilainya 6.57 adalah mendukung proses perombakan serasah mangrove karena semakin tinggi pH tanah maka semakin baik pula perombakan serasah tersebut menjadi bahan organik oleh mikroorganisme. Idawaty (1999) menjelasakan bahwa mikroorganisme dapat dengan cepat merombak serasah menjadi bahan organik jika pH tanah 5,5 atau lebih sedangkan jika pH dibawah 5,5 maka pertumbuhan mikroba akan terhambat sehingga proses dekomposisi serasah juga akan menurun. Kandungan oksigen yang hanya 1,8 ppm menunjukan besarnya volume serasah mangrove yang kemudian terdegradasi menjadi bahan organik. Semakin banyak bahan organik yang tersedia dalam maka semakin tinggi pula oksigen yang dibutuhkan untuk merombaknya. Jika dilihat dari vegetasi yang tumbuh maka stasiun III ditumbuhi oleh jenis Rhyzopora stylosa. Jenis ini jika dibandingkan dengan vegetasi lain yang tumbuh pada dua stasiun lainnya memang menghasilkan lebih banyak serasah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sukardjo (1994) di hutan mangrove Muara Angke-Kapuk Jakarta bahwa biomassa serasah komunitas Rhyzopora pada lantai hutan secara nyata jauh lebih besar dibandingkan dengan komunitas lainnya yang terdiri dari Avicennia, Excoecaria, Brugueira dan sonneratia. Dengan lebih banyaknya serasah yang dihasilkan maka berarti bahan organik yang
Kandungan bahan organik terendah sebaliknya ditemukan pada stasiun II substasiun 2 dengan nilai 6,257 %. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kerapatan mangrove yang hanya 1,6 ind/10m2. Ini berarti bahwa kecilnya kerapatan tegakan mangrove berefek terhadap kecilnya serasah daun yang kemudian jatuh ke perairan dan terendap ke sedimen. Dengan demikian bahan organik yang akan dihasilkan juga akan rendah. Tingginya kandungan oksigen yaitu 9,2 ppm pada substasiun ini juga menunjukkan bahwa tidak banyak oksigen yang tepakai untuk mengoksidasi bahan organik karena sedikitnya jumlah serasah yang gugur.
Jika dirata-ratakan maka stasiun yang memiliki kandungan bahan organik tertinggi adalah stasiun III yaitu 63,58 % karena pada stasiun ini memiliki kerapatan mangrove yang lebih besar dari stasiun lainnya. Sedangkan stasiun dengan kandungan bahan organik terendah adalah stasiun II yaitu 7.54 % karena memang pada stasiun ini kerapatan mangrovenya rendah yaitu hanya 1,6 ind/10m2
Kondisi Vegetasi Hutan Mangrove
Hasil pengamatan kondisi vegetasi pada tiap substasiun penelitian (tabel 4).
Tabel 4. Hasil pengukuran vegetasi hutan mangrove terhadap rata-rata kerapatan pohon pada tiap stasiun pengamatan
Kategori Tegakan | Stasiun I | Stasiun II | Stasiun III |
Semaian | 41 | - | 47 |
Anakan | 4 | - | 7 |
Pohon | 8 | 16 | 12 |
Total | 53 | 16 | 66 |
Kerapatan (ind/10m²) | 5,3 | 1,6 | 6,6 |
Hasil pengamatan pada tiap stasiun menunjukkan bahwa spesies yang tumbuh pada lokasi pengamatan terdiri dari 3 jenis, yakni Rhyzopora stylosa, Ceriops decandra, dan Sonneratia alba.
Dari hasil pengamatan dan pengukuran vegetasi yang ada, diperoleh nilai kerapatan mangrove pada tiap stasiun. Stasiun yang memiliki kerapaan tertinggi diperoleh pada stasiun III dengan nilai kerapatan 6,6 ind/10m2. Stasiun ini memang memiliki kerapatan yang paling tinggi bila dibandingkan dengan stasiun lainnya karena sedimen dasarnya adalah lumpur yang sangat memungkinkan untuk pertumbuhan mangrove. Noor (1999) menyatakan bahwa sebagian besar jenis-jenis mangrove akan tumbuh baik pada tanah berlumpur terutama di daerah dimana endapan lumpur terakumulasi.
Pada stasiun ini, spesies yang tumbuh seluruhnya adalah dari jenis Rhyzopora stylosa. Jumlah semaian adalah yang paling banyak ditemukan dan memiliki kerapatan 4,7 ind/10m². Selanjutnya ditemukan pula anakan dengan jumlah yang jauh lebih kecil dari semaian dengan kerapatan 0,7 ind/10m². Adapun untuk pohon, diperoleh nilai kerapatan sebesar 1,2 ind/10m². Dengan demikian kerapatan untuk semua individu adalah sebesar 6,6 ind/10m².
Stasiun yang paling rendah kerapatannya diperoleh pada stasiun II. Pada stasiun ini, jenis yang tumbuh adalah Sonneratia alba. Keseluruhan individu yang ditemukan adalah spesies tersebut. Adapun kerapatan tegakan yang ada adalah sebesar 1,6 ind/10m². Kerapatan ini seluruhnya adalah kerapatan pohon karena pada stasiun ini tidak ditemukan semaian dan anakan. Kint (1934 dalam Noor, 1999) menyatakan bahwa untuk jenis mangrove seperti Sonneratia alba tumbuh pada pantai berpasir atau bahkan pada pantai yang berbatu. Adapun tidak ditemukannya anakan dan semaian pada stasiun ini terjadi karena pada stasiun ini substratnya berupa pasir dan karena kurangnya tegakan yang ada sehingga diperkirakan bibit yang jatuh akan langsung terbawa oleh air sebelum sempat tumbuh pada lokasi tersebut. Terlebih lagi pada stasiun ini, substratnya adalah pasir dan merupakan pantai berbatu sehingga akan lebih sulit bagi bibit yang baru tumbuh untuk bertahan dari hempasan ombak dan arus air.
Pada stasiun I, vegetasi didominasi oleh jenis Rhyzopora stylosa dan sisanya dalam jumlah kecil juga ditumbuhi oleh Sonneratia alba. Jumlah yang paling banyak ditemukan adalah semaian dengan nilai kerapatan 5,3 ind/10m². Sedangkan anakan ditemukan hanya sedikit dengan nilai kerapatan 0,4 ind/10m². Dan untuk pohon, diperoleh kerapatan dengan nilai 0,8 ind/10m².
Nitrat dan Fosfat Berdasarkan Pemanfaatan Hutan Mangrove
Hasil Pengukuran nitrat dan fosfat pada setiap stasiun pengamatan (Tabel 5)
Tabel 5. Data hasil pengukuran Nitrat (NO3) dan Fosfat (PO4) pada sampel sedimen mangrove pada setiap stasiun penelitian.
Stasiun | Substasiun | Nitrat (ppm) | Fosfat (ppm) |
I | 1 | 15,67 | 20,34 |
2 | 20,54 | 20,97 |
3 | 29,54 | 23,15 |
II | 1 | 10,54 | 22,54 |
2 | 24,68 | 20,54 |
3 | 24,35 | 21,97 |
III | 1 | 20,15 | 19,85 |
2 | 23,24 | 23,45 |
3 | 22,64 | 20,64 |
Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Fosfat adalah bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan dan merupakan unsur esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan algae sehingga dapat menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan lagae akuatik sehingga dapat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan.
Hasil pengukuran fosfat dan nitrat pada setiap stasiun pengamatan menunjukkan kadar yang sama-sama tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antar tiap stasiun terkait dengan kandungan nitrat dan fosfatnya. Hal ini juga didukung oleh hasil analisis statistik/spss (lampiran 1 dan 2) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada tingkat kepercayaan 0,05 antara ketiga jenis pemanfaatan. Hasil uji lanjut yang berupa uji LSD dan HSD (Less Significant Different dan High Seignificant Different) juga menunjukkan hal yang sama. Oleh karena itu, hasil pengukuran ini kemudian dijelaskan secara deskriptif karena secara statistik tidak terdapat perbedaan antara ketiga stasiun pengamatan.
Areal Pertambakan
Nitrat pada stasiun I diperoleh, dengan kisaran antara 15,67 ppm – 29,54 ppm. Nilai kandungan nitrat tertinggi pada substasiun 3 yakni 29,54 ppm yang letaknya dekat dengan laut. Hal ini terjadi karena pH tertinggi juga terdapat pada substasiun ini dimana nilainya sebesar 7,45 dan mendekati nilai 8 yang merupakan pH optimum untuk berjalannya proses nitrifikasi. Kandungan nitrogen yang terendah ditemukan pada substasiun 1 yang letaknya berada dekat dengan daratan dengan nilai 15,67 ppm. Rendahnya kandungan nitrat pada substasiun ini juga turut dipengaruhi oleh nilai pH, karena pada substasiun ini nilai pH-nya adalah nilai terendah yakni 6,68. Karena rendahnya pH maka proses nitrifikasi akan berjalan lebih lambat dari proses normal. Hal ini sesuai dengan pendapat Effendi (2003) bahwa pH optimum untuk proses nitrifikasi adalah 8 dan jika pH <6>
Tingginya kandungan nitrat yang lebih cenderung ke arah laut disebabkan oleh adanya sistem pembuangan limbah tambak yang berupa kanal/saluran sederhana yang dibuat melintasi hutan mangrove dari pinggiran tambak sampai ke arah lautan. Jadi konsentrasi pembuangan terpusat pada ujung saluran sirkulasi air yang berada dekat dengan laut.
Hasil pengukuran fosfat pada stasiun I menunjukkan bahwa nilainya berkisar antara 20,34 – 23,15 ppm. Pada stasiun I, ditemukan bahwa kandungan fosfat tertinggi diperoleh pada substasiun 3 dengan nilai 23,15 ppm. Sedangkan yang terendah diperoleh pada substasiun 1 yang letaknya lebih dekat dengan daratan yaitu 20,34 ppm. Tinginya kandungan fosfat pada substasiun 3 yang justru lebih dekat ke arah laut juga sangat dipengauhi oleh adanya saluran pembuangan air tambak yang dibuat khusus memanjang dan melintasi mangrove ke arah laut sehingga konsentrasi tertinggi ditemukan pada substasiun yang memang dekat dengan laut kemudian diikuti oleh substasiun 2 dan substasiun 1 yang posisinya dekat dengan darat. Limbah yang terbuang dan bercampur dengan pupuk yang mengandung unsur fosfor biasanya digunakan oleh petambak adalah faktor yang mempengaruhi kandungan fosfat pada stasiun ini. Hal ini sesuai dengan pendapat Hutagalung dan Rozak (1997) bahwa peningkatan kadar fosfat di laut disebabkan oleh penggunaan pupuk berlebih (overfertilisasi) yang dilakukan oleh petani. Grafik yang menggambarkan konsentrasi nitrat dan fosfat pada stasiun I dapat dilihat pada gambar 2 dan 3.
Gambar 2. Grafik Kandungan nitrat pada areal tambak.
Gambar 3. Grafik Kandungan fosfat pada areal tambak b. Area Hatchery
Hasil pengukuran nitrat pada stasiun II menunjukkan bahwa kandungan nitrat tertinggi diperoleh pada substasiun 2 dengan nilai 24,68 ppm sedang nilai terendah ditemukan pada substasiun 1 yaitu 10,54 ppm yang letaknya dekat dengan daratan. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh pH terhadap proses nitrifikasi yang terjadi. Nilai pH yang paling besar ditemukan pada substasiun 3 namun jika dilihat kadar nitratnya justru lebih rendah dari substasiun 2. Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya aksi uptake (pemanfaatan) nitrat oleh tumbuhan (lamun) yang ada pada bagian depan substasiun 3. Nilai pH pada substasiun 2 lebih kecil dari substasiun 3 yakni 6,55 namun kandungan nitratnya lebih tinggi yaitu 24.68 ppm, hal ini karena pada susbtasiun ini pemanfaatan nitrat oleh tumbuhan diduga minim. Dan substasiun yang paling rendah kadar nitratnya ditemukan pada substasiun 1 dengan nilai 10,54 ppm. Ini terjadi karena substasiun ini yang paling kecil nilai pH-nya yaitu hanya 6,38. Pada stasiun II, kandungan fosfat tertinggi ditemukan pada substasiun 1 yaitu 22,54 ppm. Sedangkan yang terendah terdapat pada substasiun 2 yaitu 20,54 ppm. Tingginya kandungan fosfat yang berada pada substasiun 3 dibandingkan dengan yang berada pada subtasiun 2, diduga dipengaruhi oleh adanya padang lamun pada bagian luar subtasiun 3. Padang lamun ini dapat dikatakan berperan besar terhadap bertambahnya kandungan fosfat pada substasiun 3 ini, dikarenakan hasil pelapukan dari serasah lamun serta organisme yang berasosiasi dengannya kemudian mati dan terdegradasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Hardjowigeno (1992) bahwa keberadan fosfor di dalam tanah karena adanya bahan organik yang berupa sisa-sisa organisme yang mati serta hasil ekskresi oleh organisme, pupuk buatan serta mineral-mineral dalam tanah. Hutagalung dan Rozak (1997) juga menyatakan bahwa fosfat berasal dari hasil dekomposisi organisme yang sudah mati dan kemudian diabsorbsi oleh fitoplankton dan masuk ke dalam rantai makanan. Kandungan fosfat tertinggi ditemukan pada substasiun 1 dengan nilai 22, 54 ppm. Substasiun 1 adalah substasiun yang terdekat dengan hatchery, berarti potensi untuk menerima pasokan limbah yang dapat mengandung fosfat dari hatchery akan lebih besar dari dua substasiun yang lainnya. Dengan demikian yang paling tinggi kadarnya adalah pada substasiun 1. Grafik yang menggambarkan konsentrasi nitrat dan fosfat pada stasiun II dapat dilihat pada gambar 4 dan 5.
Gambar 4. Grafik kandungan nitrat pada area hatchery
Gambar 5. Grafik kandungan fosfat pada area hatchery
c. Areal Pemukiman
Pada stasiun III diperoleh kisaran kandungan nitrat sebesar 20,15 – 23,24 ppm. Pada stasiun III, kandungan nitrat tertinggi juga ditemukan pada substasiun 2 dengan nilai 23,24 ppm, sedang kandungan nitrat terendah ditemukan pada substasiun 1 yang letaknya dekat dengan daratan dengan nilai 20,15 ppm. Pada stasiun ini yang merupakan areal pemukiman memiliki saluran pembuangan limbah domestik yang juga berupa kanal yang melintasi hutan mangrove dengan ujung saluran berada pada substasiun yang letaknya berada dekat dengan laut. Nilai yang diperoleh menunjukkan bahwa pada substasiun 3 yakni 22,64 ppm yang letaknya dekat dengan laut justru mempunyai nilai yang lebih rendah daripada subtasiun 2 karena pada bagian luar hutan mangrove terdapat padang lamun. Adanya lamun yang tumbuh pada lokasi yang dimaksud berarti ada pemanfaatan nitrat oleh vegetasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Sukardjo (1994) bahwa nitrat dapat digunakan oleh tumbuhan hijau sebagai sumber nutrien yang berguna untuk pertumbuhan organisme tersebut.
Pada stasiun III ditemukan bahwa yang paling rendah kadar fosfatnya adalah pada substasiun 1 dengan nilai 19,85 ppm. Sedangkan substasiun yang paling tinggi kadar fosfatnya adalah pada substasiun 2 dengan nilai 23,45 ppm, lebih tinggi dari substasiun 3 yang letaknya dekat dengan laut dengan nilai 20,64 ppm. Kadar fosfat yang lebih tinggi pada subtasiun 2 dibandingkan dengan substasiun 3 yang letaknya lebih dekat dengan laut yang merupakan ujung saluran pembuangan limbah domestik, adalah karena terjadi penyerapan (absorpsi) fosfat oleh sedimen yang ada pada substasiun II dimana substratnya berupa lumpur yang bercampur dengan pasir. Hal ini juga sesuai dengan yang dikemukakan oleh Horax (1998) bahwa fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat diabsorpsi oleh sedimen yang berupa pasir (CaCO3). Grafik yang menggambarkan kandungan nitrat dan fosfat pada stasiun III dapat dilihat pada gambar 6 dan 7.
Gambar 6. Grafik kandungan nitrat pada area pemukiman
Gambar 7. Grafik kandungan fosfat pada area pemukiman
Perbandingan Konsentrasi Nitrat dan Fosfat Pada Tiga Jenis Pemanfaatan Hutan Mangrove
Berdasarkan hasil analisa laboratorium, kandungan nitrat tertinggi diperoleh pada stasiun I dimana pada stasiun ini merupakan areal tambak. Keberadaan tambak akan memberikan dampak yang cukup berarti bagi konsentrasi nitrat di perairan. Dengan adanya tambak maka input tambahan nitrat dari areal pertambakan ke perairan akan bertambah besar sehingga terjadi pengendapan nitrat ke sedimen pada saat surut. Hal ini sesuai dengan pendapat Hutagalung dan Rozak (1997) yang menyatakan bahwa peningkatan kadar nitrat di perairan disebabkan oleh masuknya limbah domestik atau pertanian (pemupukan) yang umumnya banyak mengandung nitrat.
Dari hasil interview dengan beberapa pemilik tambak diperoleh informasi bahwa pupuk yang banyak digunakan adalah pupuk urea dan TSP dan pemupukan ini dilakukan rutin. Ini yang kemudian menyebabkan kandungan nitrat di daerah tambak (stasiun I) ini lebih tinggi kandungannya dibandingkan dengan dua stasiun lainnya. Selain itu arus yang seharusnya dapat mendistribusikan unsur hara termasuk nitrat pada stasiun ini rendah yaitu 0,027 m/s sehingga nitrat yang ada akan terendapkan pada sedimen. Jika dilakukan penggolongan kandungan nitrat yang diperoleh maka konsentrasi tersebut tergolong dalam kategori tinggi. Dengan konsentrasi nitrat tertinggi yang diperoleh di areal tambak menunjukkan bahwa adanya kekurangpahaman masyarakat pengguna tambak tentang penggunaan pupuk, sehingga pupuk yang diberikan bisa saja berlebih dari apa yang seharusnya. Olehnya itu diperlukan peran pemerintah dalam hal ini untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya penggunaan pupuk dan dampak yang dapat timbul jika pemberian pupuk tersebut berlebihan.
Sedangkan stasiun yang memilki kandungan nitrat terendah adalah pada stasiun II. Pada stasiun ini terdapat hatchery. Rendahnya kandungan nitrat pada stasiun II karena kerapatan vegetasi mangrovenya juga lebih rendah dari stasiun lainnya yaitu hanya 1,6 ind/10m2, sehingga nitrat yang terkandung dalam sedimen akan sangat mudah terbawa oleh arus. Selain itu sedimennya juga berupa pasir, dimana sedimen berupa pasir akan lebih mudah melepaskan kandungan unsur hara di dalamnya dibandingkan dengan substrat yang lain yang lebih rapat porinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Hardjowigeno (1992) yang menyatakan bahwa tanah yang bertekstur pasir mempunyai luas permukaan yang kecil sehingga sulit untuk menahan air dan unsur hara, sedangkan tanah bertekstur liat mempunyai luas permukaan yang lebih besar sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi.
Konsentrasi nitrat pada tiga stasiun pengamatan turut dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti DO (Dissolve Oxygen) dan kandungan bahan organik. Hal ini dapat dilihat dari konsentrasi oksigen dan bahan organik yang ada. Bahan organik yang didekomposisi oleh bakteri adalah sumber nitrat yang ada di perairan dengan memanfaatkan oksigen sebagai oksidatornya. Dari hasil pengamatan itu maka dapat dikatakan bahwa pada tiga stasiun pengamatan terjadi proses nitrifikasi yang baik karena jika diurutkan maka nilai oksigen terlarut tertinggi adalah ditemukan pada stasiun II kemudian stasiun I dan III. Sedang untuk kandungan bahan organik jika diurutkan maka yang tertinggi akan diperoleh pada stasiun III, kemudian stasiun I dan II. Hal ini berarti terdapat korelasi negatif antara kandungan oksigen dengan kandungan bahan organik. Semakin banyak kandungan bahan organik dalam sedimen berarti akan semakin banyak pula osigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi. Ini berarti jika kandungan bahan organik tinggi maka konentrasi oksigen yang tersedia akan semakin sedikit karena digunakan oleh mikroorganisme untuk mendekomposisi bahan organik tersebut. Hal ini sesuai dengan Effendi (2003) bahwa bahan organik yang ada di alam akan didekomposisi oleh mikroba melalui proses oksidasi yang terjadi melalui dua tahap yakni bahan organik diuraikan menjadi bahan anorganik yang tidak stabil pada tahap pertama dan pada tahap kedua bahan anorganik yang yang tidak stabil mengalami oksidasi menjadi bahan anorganik yang lebih stabil, misalnya amonia yang dioksidasi menjadi nitrit dan nitrat.
Dengan tidak adanya perbedaan yang nyata antara ketiga stasiun pengamatan berdasarkan analisa statistik berarti kontribusi ketiga jenis pemanfaatan terhadap kandungan nitrat pada sedimen hutan mangrove untuk ketiga lokasi penelitian sama-sama besar. Hal ini juga ditunjukkan dengan lebih jelas melalui tingginya kandungan nitrat pada masing-masing stasiun.
Dari hasil pengukuran yang dilakukan maka diperoleh kandungan nitrat yang berkisar antara 10,54 - 29,54 ppm. Dari hasil ini, maka hutan mangrove yang ada dapat digolongkan termasuk pada hutan dengan kandungan nitrat yang tinggi. Jika dibandingkan dengan konsentrasinya pada sedimen mangrove alami yang berkisar antara 0,2 – 10 ppm (Boto, 2000) maka ini berarti keberadaan berbagai jenis pemanfaatan yang ada menyebabkan penngkatan konsentrasi nitrat pada sedimen mangrove. Nilai rata-rata konsentrasi nitrat pada setiap stasiun dapat dilihat pada gambar 8.
Gambar 8. Grafik konsentrasi rata-rata nitrat pada tiap stasiun Berdasarkan hasil analisa laboratorium, nilai rata-rata kandungan fosfat terendah diperoleh pada stasiun III dengan nilai 21,31 ppm. Sedangkan stasiun II memiliki nilai rata-rata kandungan fosfat yang lebih tinggi dari stasiun I dan III dengan nilai 21,68 ppm. Hal ini terjadi karena keberadaan hatchery yang kemudian memberikan sumbangan yang cukup berarti terhadap kandungan fosfat dalam perairan yang kemudian terendapkan ke dalam sedimen. Hal ini sesuai dengan pendapat Hutagalung dan Rozak (1997) bahwa keberadaan fosfat yang tinggi disebabkan oleh masuknya limbah domestik, pertanian, industri dan perikanan yang mengandung fosfat.
Kandungan fosfat dalam sedimen yang telah diukur menunjukkan bahwa konsentrasinya tergolong sedang sampai tinggi, sebagaimana dijelasakan oleh Olsen dan Dean (1965 dalam Alkaf 2003), bahwa penggolongan tinggi rendahanya kandungan fosfat dalam tanah dapat dilihat dari empat kategori. <>20 ppm tergolong tinggi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Boto (2000) di Australia menunjukkan bahwa konsentrasi fosfat pada sedimen mangrove yang masih alami berkisar antara 5 – 15 ppm. Jika dibandingkan dengan nilai yang diperoleh dari hasil pengukuran fosfat pada lokasi penelitian yang berkisar antara 19,85 – 23,45 ppm maka ini menunjukkan bahwa memang ada kontribusi yang cukup berarti dari pemanfaatan mangrove yang ada terhadap kandungan fosfat di dalamnya. Nilai konsentrasi rata-rata fosfat pada tiap stasiun dapat dilihat pada gambar 9.
Gambar 9. Grafik Konsentrasi rata-rata fosfat pada tiap Stasiun
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Kandungan nitrat (NO3) pada areal tambak berkisar antara 15,67 – 29,54 ppm, 10,54 – 24,68 ppm untuk area hatchery dan untuk area pemukiman berkisar antara 20,15 – 23,24 pm. Sedangkan kandungan fosfat (PO4) pada area tambak berkisar antara 20,34 – 23,15 ppm, untuk area hatchery berkisar antara 20,54 – 22,54 ppm, dan untuk area pemukiman berkisar antara 19,85 – 23,45 ppm.
2. Sedimen dengan kandungan nitrat (NO3) dan fosfat (PO4) pada lokasi penelitian termasuk dalam tanah dengan produktivitas yang tinggi sebagai indikasi adanya sumbangan nutrien dari aktivitas pemanfaatan hutan mangrove tersebut.
3. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga jenis pemanfaatan hutan mangrove terhadap kandungan nitrat (NO3) dan fosfat (PO4) pada lokasi penelitian.
Saran
Perlu dilakukan penelitian tentang dampak pemanfaatan lahan mangrove yang lain terhadap kandungan unsur hara yang ada di dalamnya.